Bukan maksud
untuk tidak mensyukuri apa yang telah terjadi.
Tapi segala konsekuensi yg harus dihadapi membuat urat syarafku menegang.
Bahkan tertarik, dan untung saja tidak putus.
Yang aku jalani, bukan tanpa tujuan dan cita – cita. Aku punya itu.
aku menyimpan segenggam harapan dan juga mimpi indah.
Namun, mungkin saja terlihat belum jelas.
Entah samar atau masih kelabu. Kabut – kabut yang menghalangi jalanku, membuatku sulit melihat ke arah paling depan.
Arah yang aku tuju. Aku bukan buta.
Hanya saja, jalanku, langkahku, masih tertutupi kabut tebal yang membandel.
Membuat aku menjadi berat melangkah.
Tapi segala konsekuensi yg harus dihadapi membuat urat syarafku menegang.
Bahkan tertarik, dan untung saja tidak putus.
Yang aku jalani, bukan tanpa tujuan dan cita – cita. Aku punya itu.
aku menyimpan segenggam harapan dan juga mimpi indah.
Namun, mungkin saja terlihat belum jelas.
Entah samar atau masih kelabu. Kabut – kabut yang menghalangi jalanku, membuatku sulit melihat ke arah paling depan.
Arah yang aku tuju. Aku bukan buta.
Hanya saja, jalanku, langkahku, masih tertutupi kabut tebal yang membandel.
Membuat aku menjadi berat melangkah.
Secercah
cahaya yang aku cari, entah dimana. Mengapa begitu sulit.
Padahal aku bukan mencari banyak lampu. Bukan lampion. Bukan bohlam.
Sedikit saja cahaya, entah itu dari lilin atau dari lampu kecil yang ada diujung kriket.
Aku ingin cahaya itu menerangi langkahku, agar aku tidak lagi tersandung- sandung.
Aku ingin langkahku, lancar. Tanpa harus menginjak bebatuan.
Aku ingin aku dapat melangkah dengan kepala yang sejajar dengan jalanku.
Bukan dengan kepala yang terus tertunduk dan menerawang atas apa yang akan aku injak di depan.
Aku lelah jalan seperti itu. sungguh.
Kepalaku sakit. Leherku pegal. Kakiku berat.
Aku juga tidak pernah tau, nama jalan yang aku singgahi itu apa namanya.
aku hanya melewati, melihat – lihat.
Lalu, ya berlalu begitu saja. Terkadang aku tersesat.
Namun aku tidak pernah bisa memutar arahku.
Aku tetap melangkah, meski dengan penuh keraguan.
Aku, aku tidak lumpuh. Tidak buta.
Tapi entah kenapa aku merasa begitu ringkih?
Padahal usiaku baru saja belasan tahun. Langkah yang tergopoh – gopoh.
Layaknya orang dewasa yang akan tua dan bertemu dengan penyakit.
Aku memang tidak terlihat seperti itu, tapi menurutku Rasanya sama saja dengan orang orang tua itu. slayang – sloyong. Tapi tidak mabuk. Terpejam.
Tapi tidak tidur. Bengong. Namun tidak gila. Menangis. Tapi tidak cengeng. Lalu, aku apa?
Padahal aku bukan mencari banyak lampu. Bukan lampion. Bukan bohlam.
Sedikit saja cahaya, entah itu dari lilin atau dari lampu kecil yang ada diujung kriket.
Aku ingin cahaya itu menerangi langkahku, agar aku tidak lagi tersandung- sandung.
Aku ingin langkahku, lancar. Tanpa harus menginjak bebatuan.
Aku ingin aku dapat melangkah dengan kepala yang sejajar dengan jalanku.
Bukan dengan kepala yang terus tertunduk dan menerawang atas apa yang akan aku injak di depan.
Aku lelah jalan seperti itu. sungguh.
Kepalaku sakit. Leherku pegal. Kakiku berat.
Aku juga tidak pernah tau, nama jalan yang aku singgahi itu apa namanya.
aku hanya melewati, melihat – lihat.
Lalu, ya berlalu begitu saja. Terkadang aku tersesat.
Namun aku tidak pernah bisa memutar arahku.
Aku tetap melangkah, meski dengan penuh keraguan.
Aku, aku tidak lumpuh. Tidak buta.
Tapi entah kenapa aku merasa begitu ringkih?
Padahal usiaku baru saja belasan tahun. Langkah yang tergopoh – gopoh.
Layaknya orang dewasa yang akan tua dan bertemu dengan penyakit.
Aku memang tidak terlihat seperti itu, tapi menurutku Rasanya sama saja dengan orang orang tua itu. slayang – sloyong. Tapi tidak mabuk. Terpejam.
Tapi tidak tidur. Bengong. Namun tidak gila. Menangis. Tapi tidak cengeng. Lalu, aku apa?
Aku
gadis yang tengah di uji kesabarannya.
Yang tengah di berikan sebuah pilihan ganda. Hanya dua pilihan.
Harus lanjut atau berhenti. Dalam lomba lari, aku harus mundur satu langkah, atau tetap melangkah kencang, menuju finish.
Menjadi pemenang. Menjadi pecundang.
Atau aku harus melewati jalur alternatif, memotong jalan.
Atau berlari di atas garis pembatas lajur lawan.
Tapi, resikonya aku didiskualisifikasi.
Entah menang atau kalah suatu saat nanti, yang jelas aku mempunyai satu supporter yang berteriak paling kencang dan selalu bertepuk tangan paling keras di antara penonton2 lainnya.
Dan dengan rela ia menghabiskan tenaganya untuk menyemangatiku, membangkitkan ku, bahkan menuntun lagi langkahku, walau ia tau mustahil rasanya jika aku akan menjadi pemenang yang sempurna nantinya.
Itulah dia. Kekasih terlarangku.
Seseorang yang paling semangat memberiku, sebutir dua butir kata motivasi.
Menghiasi hidupku. Mewarnai hariku.
Dan terus mendorongku dalam lomba lari yang semu ini.
Dan ia selalu menerimaku apa adanya, meski aku terjatuh beberapa kali.
Meski aku terluka parah, atau mulai mengurangi kecepatan lariku.
Ia yang rela mengangkatku, dan membawaku ke jalur yang lebih jauh lagi. Ya, dia kekasihku.
Yang tengah di berikan sebuah pilihan ganda. Hanya dua pilihan.
Harus lanjut atau berhenti. Dalam lomba lari, aku harus mundur satu langkah, atau tetap melangkah kencang, menuju finish.
Menjadi pemenang. Menjadi pecundang.
Atau aku harus melewati jalur alternatif, memotong jalan.
Atau berlari di atas garis pembatas lajur lawan.
Tapi, resikonya aku didiskualisifikasi.
Entah menang atau kalah suatu saat nanti, yang jelas aku mempunyai satu supporter yang berteriak paling kencang dan selalu bertepuk tangan paling keras di antara penonton2 lainnya.
Dan dengan rela ia menghabiskan tenaganya untuk menyemangatiku, membangkitkan ku, bahkan menuntun lagi langkahku, walau ia tau mustahil rasanya jika aku akan menjadi pemenang yang sempurna nantinya.
Itulah dia. Kekasih terlarangku.
Seseorang yang paling semangat memberiku, sebutir dua butir kata motivasi.
Menghiasi hidupku. Mewarnai hariku.
Dan terus mendorongku dalam lomba lari yang semu ini.
Dan ia selalu menerimaku apa adanya, meski aku terjatuh beberapa kali.
Meski aku terluka parah, atau mulai mengurangi kecepatan lariku.
Ia yang rela mengangkatku, dan membawaku ke jalur yang lebih jauh lagi. Ya, dia kekasihku.
Entah ucapan
apa yang harus aku bisikkan pada kedua telinganya.
Entah apa yang harus aku berikan untuk membalas sgala budi baiknya.
Dan entah apa yang harus aku korbankan seraya membayar cintanya.
Setidaknya agar kami impas.
Kasihan.. gadis mungil berparas tampan itu harus ikut menanggung beban keluargaku.
Tak sepantasnya ia melewati pula masa sulit ini.
Sungguh.
Aku malu.
Aku merasa bersalah.
Terkadang.....
Entah apa yang harus aku berikan untuk membalas sgala budi baiknya.
Dan entah apa yang harus aku korbankan seraya membayar cintanya.
Setidaknya agar kami impas.
Kasihan.. gadis mungil berparas tampan itu harus ikut menanggung beban keluargaku.
Tak sepantasnya ia melewati pula masa sulit ini.
Sungguh.
Aku malu.
Aku merasa bersalah.
Terkadang.....
Komentar
Posting Komentar